Sebuah Kenyataan
Senin, 07 Oktober 2013
Rabu, 23 Februari 2011
Sebuah Kenyataan
rasanya malam ini. Serasa
kepala ini mau pecah, isinya
terhambur mau keluar. Aku
gulingkan badan ini tak tentu
arah di atas kasur
kesayanganku. Entah apa gerangan penyebabnya namun
sakit kepala ini sedari tadi
menggrogoti isi kepalaku. Astaga
jangan-jangan ada hewan kecil
masuk ke kepala dan memakan
isi-isinya termasuk benda kesayanganku, otak. Ini memang
pertama kali aku merasakan
sakit kepala yang sejati seperti
ini. Emak yang sedari tadi
menggoreng ikan untuk makan
malam tampaknya mendengar suara desingan sakit ku. Emak
akhirnya menunda sejenak
aktifitas mengorengnya dan
menghampiri kamarku.”maragao tu, kenapa Wan?”, sahut Emak sebari mendekat ke ranjang
tempatku terbaring
kesakitan.”sakit kepala mak, nda tahu juga ini sudah dari tadi
tidak mau sembuh-sembuh”, jawabku lesuSeperti Emak yang
tidak bisa melihat anaknya
kesusahaan, Emak keluar rumah
membelikan obat sakit kepala.
Betapa dosanya aku. Seharusnya
aku tidak cengeng begini. Aku selalu saja menyusahkan emak
padahal aku sudah menggangu
acara masaknya.Dalam hidupku
emak adalah segalanya. Dia selalu
membimbingku menjalani
kehidupan yang keras ini. Yang aku kagumi dari sosok emak
adalah keteguhannya setelah di
tinggal mati suaminya yang tidak
lain bapakku sendiri. Kejadian
meninggalkan bapakku sampai
sekarang tidak aku ketahui pasti hanya desas-desus yang aku
dengar itupun tidak secara
langsung. Maklum bapak
menginggalkam kami saat aku
dalam kandungan emak. Saat itu
aku masih berusia 5 bulan dan masih terkukungkung dalam
rahim emak.Bagaimana rasanya
menjadi anak yatim sekarang
aku lalui. Kehilangan sosok Bapak
yang selalu dirasakan anak lain
tidak ku dapat tapi aku sepertinya tidak mempersoalkan
itu mungkin karena aku tidak
pernah melihat wajahnya. Hanya
sebongkah tanah yang
berkumpul membentuk gunung
dan di salah satu sisinya bertulisakan Muh Rajab Tanggal
Lahir 27 Maret 1957 Wafat 9
Oktober 1988 yang hampir tiap
bulan aku datangi bersama
emak. Hanya ada satu
penyesalan kenapa Tuhan tidak mengijinkan aku untuk sekali
saja menyentuh wajahnya
dengan tangan ini. Sedang Emak
sendiri sampai sekarang tidak
mau menceritakan hal ihwal
kematian bapak. Pernah berapa kali aku coba membujuk emak
sampai-sampai aku mau
menggantikan semua pekerjaan
emak kalau mau menceritakan
kisah bapak. Tapi hasilnya nihil.
Hanya sekalimat kata yang keluar dari bibir lesu emak:”Nak, biar waktu yang akan menjawab
semua tanyamu”Hanya itu. Tidak ada kata sambungan lagi yang
aku harap-harapkan keluar dari
mulut emak. Rahasia seperti
apakah yang disembunyikan
emak dariku? seberapa anehkah
kematian bapak? kenapa pula orang-orang bungkam tentang
ini. Kenapa, Kenapa, dan Sekali
Lagi Kenapa? Pikiran ini selalu
saja mengusikku. Mungkin ini pula
yang akhir-akhir ini
menyebabkan kepalaku sering pusing._bersambung_
kepala ini mau pecah, isinya
terhambur mau keluar. Aku
gulingkan badan ini tak tentu
arah di atas kasur
kesayanganku. Entah apa gerangan penyebabnya namun
sakit kepala ini sedari tadi
menggrogoti isi kepalaku. Astaga
jangan-jangan ada hewan kecil
masuk ke kepala dan memakan
isi-isinya termasuk benda kesayanganku, otak. Ini memang
pertama kali aku merasakan
sakit kepala yang sejati seperti
ini. Emak yang sedari tadi
menggoreng ikan untuk makan
malam tampaknya mendengar suara desingan sakit ku. Emak
akhirnya menunda sejenak
aktifitas mengorengnya dan
menghampiri kamarku.”maragao tu, kenapa Wan?”, sahut Emak sebari mendekat ke ranjang
tempatku terbaring
kesakitan.”sakit kepala mak, nda tahu juga ini sudah dari tadi
tidak mau sembuh-sembuh”, jawabku lesuSeperti Emak yang
tidak bisa melihat anaknya
kesusahaan, Emak keluar rumah
membelikan obat sakit kepala.
Betapa dosanya aku. Seharusnya
aku tidak cengeng begini. Aku selalu saja menyusahkan emak
padahal aku sudah menggangu
acara masaknya.Dalam hidupku
emak adalah segalanya. Dia selalu
membimbingku menjalani
kehidupan yang keras ini. Yang aku kagumi dari sosok emak
adalah keteguhannya setelah di
tinggal mati suaminya yang tidak
lain bapakku sendiri. Kejadian
meninggalkan bapakku sampai
sekarang tidak aku ketahui pasti hanya desas-desus yang aku
dengar itupun tidak secara
langsung. Maklum bapak
menginggalkam kami saat aku
dalam kandungan emak. Saat itu
aku masih berusia 5 bulan dan masih terkukungkung dalam
rahim emak.Bagaimana rasanya
menjadi anak yatim sekarang
aku lalui. Kehilangan sosok Bapak
yang selalu dirasakan anak lain
tidak ku dapat tapi aku sepertinya tidak mempersoalkan
itu mungkin karena aku tidak
pernah melihat wajahnya. Hanya
sebongkah tanah yang
berkumpul membentuk gunung
dan di salah satu sisinya bertulisakan Muh Rajab Tanggal
Lahir 27 Maret 1957 Wafat 9
Oktober 1988 yang hampir tiap
bulan aku datangi bersama
emak. Hanya ada satu
penyesalan kenapa Tuhan tidak mengijinkan aku untuk sekali
saja menyentuh wajahnya
dengan tangan ini. Sedang Emak
sendiri sampai sekarang tidak
mau menceritakan hal ihwal
kematian bapak. Pernah berapa kali aku coba membujuk emak
sampai-sampai aku mau
menggantikan semua pekerjaan
emak kalau mau menceritakan
kisah bapak. Tapi hasilnya nihil.
Hanya sekalimat kata yang keluar dari bibir lesu emak:”Nak, biar waktu yang akan menjawab
semua tanyamu”Hanya itu. Tidak ada kata sambungan lagi yang
aku harap-harapkan keluar dari
mulut emak. Rahasia seperti
apakah yang disembunyikan
emak dariku? seberapa anehkah
kematian bapak? kenapa pula orang-orang bungkam tentang
ini. Kenapa, Kenapa, dan Sekali
Lagi Kenapa? Pikiran ini selalu
saja mengusikku. Mungkin ini pula
yang akhir-akhir ini
menyebabkan kepalaku sering pusing._bersambung_
Langganan:
Postingan (Atom)